PERKEMBANGAN PERADILAN MILITER SEBELUM
DAN SETELAH SATU ATAP DI BAWAH MAHKAMAH AGUNG RI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Umum
Laporan perkembangan kegiatan peradilan militer sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan peradilan militer sebelum satu atap dan setelah satu atap di Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Presiden RI Nomor 56 Tahun 2004 telah dilaksanakan pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dari Markas Besar Tentara Nasional Indonesia ke Mahkamah Agung RI pada tanggal 30 Agustus 2004.
Setelah Pengadilan Militer berada di Mahkamah Agung tidak semua bidang segera dirubah, namun dalam masa transisi diperlukan penyesuaian-penyesuaian di segala bidang, oleh karena itu kemudian Ketua Mahkamah Agung RI dan Panglima TNI mengadakan kerjasama baik dalam bidang pembinaan personel TNI maupun dalam bidang sarana dan prasarana.
Sebagai gambaran perkembangannya, dalam laporan ini disusun perkembangan bidang Organisasi, Administrasi yang meliputi pembinaan personel, saran dan prasarana serta dalam bidang finansial secara garis besar penerimaan anggaran.
BAB II
PERKEMBANGAN DALAM BIDANG ORGANISASI
B. Sebelum Satu Atap.
Sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang perubahan terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, pembinaan organisasi Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Militer berada dibawah Mabes TNI yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh Babinkum TNI.
Susunan organisasi dan prosedur badan-badan pengadilan militer pada waktu itu, masih mendasari Keputusan Pangab Nomor : Kep/01/1984 tanggal 30 Oktober 1984 dan Keputusan Pangab Nomor : Kep/II/1988 tanggal 27 Pebruari 1988 tentang Daftar Susunan Personil. Sedangkan Hukum Acara Pidana Militer yang mendasari kedua Keputusan Panglima waktu itu adalah Undang-undang Nomor : 1 Drt Tahun 1958. Adapun daerah hukum pengadilan diatur dalam Keputusan Menhankam Nomor : Kep/019/VII/1985 tangal 17 Juli 1985 dan Nomor : Kep/13/IX/1985 tanggal 4 September 1985 tentang perubahan nama, tempat kedudukan dan daerah hukum Mahkamah Militer Tinggi, Oditerat Militer Tinggi, Mahkamah Militer dan Oditerat Militer.
Setelah Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer diundangkan kedudukan dan daerah hukum pengadilan militer berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor : Kep/06/X/2003 tanggal 20 Oktober 2003 yang semula sebutannya Mahkamah menjadi Pengadilan, yaitu Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Pertempuran, sedangkan daerah hukumnya tetap.
Adapun tentang susunan organisasi pengadilan militer ditentukan dalam pasal 13 yang berbunyi bahwa Susunan Organisasi dan Prosedur Pengadilan Militer ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, namun sampai sekarang Peraturan Pemerintah tersebut belum ada, bahkan Undang-undang tentang Peradilan Militernya tengah dalam proses perubahan.
C. Setelah Satu Atap.
Pengalihan organisasi pengadilan militer dari Mabes TNI ke Mahkamah Agung RI merupakan Ketetapan yang diatur dalam pasal 42 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 2004. Dalam pasal (2) ayat (1) Keppres tersebut ditegaskan, bahwa sejak pengalihan tersebut maka pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berada di Mahkamah Agung.
Tanggal 30 Agustus 2004 merupakan tonggak sejarah baru bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan militer karena secara de facto dan de Yure telah berada satu atap bersama ketiga lingkungan pengadilan lainnya di bawah Mahkamah Agung, kerangka organisasi pengadilan militer yang baru yang diharapkan adalah kerangka organisasi yang harus mewadahi tugas Yudisial tidak hanya di bidang pidana tetapi juga di bidang pelaksanaan proses penyelesaian sengketa tata usaha militer. Lebih dari itu, diharapkan susunan personel yang mengawakinya sesuai dengan pola pembinaan profesionalitas personel dan sistem karier prajurit.
Namun sampai saat ini, kerangka organisasi pengadilan militer yang diharapkan tadi masih sedang disiapkan dan rencananya akan diresmikan bersama-sama dengan organisasi ketiga lingkungan peradilan lainnya.
Dengan demikian, sesuai ketentuan pasal 10 Keppes Nomor 56 Tahun 2004, yang menentukan bahwa semua peraturan pelaksanaan mengenai organisasi pengadilan militer dinyatakan masih tetap berlaku, sampai dengan diubah dan/atau diadakan peraturan yang baru berdasarkan Keputusan Presiden ini, maka organisasi pengadilan militer yang digunakan sampai saat ini masih tetap mengacu kepada Keputusan Panglima TNI Nomor : Kep/01/1984 tanggal 30 Oktober 1984 dan Nomor : Kep/06/II/1998 tanggal 27 Februari 1988 meskipun sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugas yudisial maupun pembinaan karier prajurit yang mengawakinya.
BAB III
BIDANG ADMINISTRASI
D. Pembinaan Personil Sebelum Satu Atap.
Pengurusan masalah administrasi bagi personel pengadilan militer baik prajurit TNI maupun PNS diselenggarakan oleh Babinkum TNI yang pelaksnaannya selalu mengikutsertakan unsur pimpinan dari lingkungan pengadilan militer, oditurat Jenderal TNI dan Pusmasmil. Seperti halnya untuk menentukan usulan promosi, mutasi dan usulan kenaikan pangkat ditempuh prosedur melalui Rapat Prapakar yang dipimpin oleh Waka Babinkum TNI dengan anggotanya terdiri dari para asisten dan Inspektur Kepala serta Kabagpers selaku Sekretaris. Hasil dari Rapat Prapankar tadi kemudian disampaikan kepada Kababinkum yang kemudian dibahas dalam Rapat Pakar yang dipimpin oleh Kababinkum bersama Kadilmiltama, Orjen TNI maupun Kapusmasmil. Hasil Rapat Pankar tersebut kemudian diproses lebih lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personel militer.
Demikian pula pembinaan terhadap PNS dilingkungan pengadilan militer pada dasarnya sama diselenggarakan oleh Babinkum TNI sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pegawai Negeri Sipil.
Kekuatan personel pengadilan militer sebelum di limpahkan ke Mahkamah Agung waktu itu adalah sebagai berikut :
1. Tenaga Teknis Yudisial.
1). Hakim : - Hakim Militer Utama : 4 orang
- Hakim Militer Tinggi : 5 orang
- Hakim Militer : 74 orang
2). Panitera : - Dilmiltama : 3 orang
- Dilmilti : 8 orang
- Dilmil : 65 orang
2. Tenaga Non Teknis Yudisial
1). Militer : 42 orang
2). PNS : 204 orang
Jumlah seluruh personel waktu itu adalah 409 orang atau baru 54,24 % dari jumlah personel yang ditentukan dalam Daftar Susunan Personel (DSP) sesuai Keputusan Panglima Nomor : Kep/06/1998.
E. Pembinaan Personel Setelah Satu Atap.
Dalam pasal 45 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ditetapkan bahwa sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan Militer ke Mahkamah Agung, maka pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personel militer, sedangkan pegawai negeri sipilnya beralih menjadi pegawai negeri sipil pada Mahkamah Agung, sebagaimana ditegaskan kembali dalam pasal 3 Keppres Nomor 56 Tahun 2004.
Khusus untuk pembinaan personel militer, selanjutnya Panglima TNI dan Ketua Mahkamah Agung telah mengadakan pengaturan dalam bentuk Keputusan Bersama Nomor : KMA/065A/SKB/IX/2004 dan Skep/420/IX/2004, tanggal 1 September 2004.
Dalam keputusan bersama ini diatur kerjasama dan koordinasi yang berkaitan dengan pembinaan prajurit TNI baik kebutuhan pengawakan personel, pendidikan, penempatan, promosi, mutasi termasuk perawatan, dan lain-lainnya.
Tentang mekanisme dan prosedur pelaksanaan pembinaan personel militer ini pernah mengalami masa transisi yaitu setelah pengalihan dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 2004, di Mahkamah Agung belum terbentuk Ditjen Badilmiltun seperti sekarang ini. Sehubungan dengan masa transisi tersebut pimpinan Mahkamah Agung mengambil kebijakan yaitu memberikan tugas dan wewenang kepada Kadilmiltama dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : KMA/077/SK/X/2004 tanggal 1 Nopember 2004, untuk melaksanakan pembinaan administrasi bagi seluruh personel militer yang bertugas di lingkungan peradilan militer yang sebelumnya sewaktu masih di Mabes TNI berada pada Kababinkum TNI.
Perkembangan selanjutnya, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tanggal 31 Januari 2005 dibentuk Sekretariat Mahkamah Agung RI yang membawahi tiga Direktorat Jenderal dan Tiga Badan yang salah satu diantaranya adalah Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang mana jabatan Dirjen tersebut baru terisi pada bulan September 2006,.
Tugas dan fungsi Dirjen Badilmiltun ini pada dasarnya, membantu Sekretaris Mahkamah Agung RI yang berhubungan dengan pembinaan tenaga teknis dan pembinaan administrasi peradilan Militer dan Tata Usaha Negara.
Dengan telah terisinya pejabat-pejabat dilingkungan Ditjen Badilmiltun, maka Keputusan KMA Nomor 077 yang bersifat sementara itu kemudian dicabut dengan Keputusan KMA Nomor : KMA/005/SK/I/2007 tanggal 11 Januari 2007, sebagai penegasan bahwa tugas penyelenggaraan pembinaan personel TNI di lingkungan peradilan Militer merupakan tugas Dirjen Badilmiltun.
Adapun mekanisme pembinaan dalam hal promosi, mutasi maupun usulan kenaikan pangkat dilaksanakan melalui tahapan Pra TPM (Tim Promosi dan Mutasi) yang dipimpin oleh Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Militer dengan anggota par Hakim Agung dari Militer dan Dirjen Badilmiltun. Sedangkan bahan yang diajukan untuk Rapat Pra TPM tersebut telah disiapkan sebelumnya oleh Ditjen Badilmiltun dengan mengikutsertakan Kadilmiltama. Hasil dari Rapat Pra TPM tadi, kemudian diajukan dalam Rapat TPM yang dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung. Selanjutnya hasil dari Rapat TPM tersebut diusulkan kepada Panglima TNI u.p. aspers Panglima TNI. Demikianlah garis besar prosedur pelaksanaan pembinaan personel militer setelah berada di Mahkamah Agung.
Berbeda halnya dengan pembinaan PNS. Pada masa transisi seperti halnya bagi personel militer, Ketua Mahkamah Agung menunjuk Kadilmiltama melalui Surat Keputusan Nomor : KMA/077/SK/X/2004 tanggal tanggal 1 Nopember 2004 untuk menyelenggarakan penbgurusan administrasi bagi personel militer dan PNS di Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Namun setelah diterbitkan Keputusan Sekretaris Nomor : MA/SEK/07/SK/III/2006 tanggal 13 Maret 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Skretariat Mahkamah Agung RI, tugas dan wewenang pembinaan personel PNS berada pada Sekretaris Mahkamah Agung yang pelaksanaannya diselenggarakan oleh Badan Urusan Administrasi cq. Biro Kepegawaian.
Selanjutnya telah dikeluarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor : 098/KMA/SK/VI/2007 tanggal 28 Juni 2007 tentang Pendelegasian sebagian wewenang kepada pejabat eselon I dan Ketua Pengadilan Tingkat Banding di lingkungan Mahkamah Agung untuk penandatanganan Keputusan di Bidang Kepegawaian, yang mulai berlaku secara efektif mulai tanggal 2 Januari 208.
Permasalahan yang belum dapat diselesaikan sampai saat ini adalah mengenai tunjangan jabatan personel PNS yang menduduki jabatan struktural sebagai Kaur di Pengadilan Militer yang jumlah nominalnya berbeda jauh dengan personel PNS di lingkungan Mahkamah Agung maupun di Mabes TNI. Permasalahan ini telah dilaporkan dan diajukan kepada Sekretaris Mahkamah Agung dan sampai saat ini tengah diupayakan, namun hambatan yang dihadapi adalah kesulitan untuk penyetaraan/penyesuaian eselonisasinya antara struktur jabatan di lingkungan pengadilan militer berbeda dengan struktur jabatan di lingkungan pengadilan lainnya. Masalah ini akan segera dapat diselesaikan apabila struktur Organisasi Pengadilan Militer yang baru segera diwujudkan.
Permasalahan yang dihadapi dalam bidang personel yanga sangat berpengaruh terhadap kelancaran tugas yudisial adalah kekurangan tegana teknis baik Hakim maupun Panitera.
Pada waktu itu belum semua Pengadilan Militer memiliki satu majelis sehingga ditempuh Hakim terbang dari Pengadilan Militer lainnya yang relatif dekat, demikian halnya Hakim Militer Tinggi yang sampai sekarang ini masih kekurangan.
Pada perkembangan selanjutnya, di akhir tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 ini, telah terlaksana kegiatan promosi dan mutasi Hakim sejumlah 78 orang dan Panitera sejumlah 23 orang, sehingga kebutuhan Hakim Militer untuk Peradilan Militer telah dapat terpenuhi satu majelis, bahkan untuk Pengadilan Militer yang perkaranya relatif banyak sudah lebih dari satu majelis, dengan rincian :
a. Hakim Militer Utama : 1 orang dan 3 orang sedang diusulkan
b. Hakim Militer Tinggi : 5 orang dan 2 orang sedang diusulkan
c. Hakim Militer : 84 orang dan 6 orang sedang diusulkan
d. Panitera Dilmiltama : 3 orang
e. Panitera Dilmilti : 10 orang
f. Panitera Dilmil : 42 orang
Dengan demikian kekuatan personel sampai bula Mei 2008 ini adalah :
a. Tenaga Teknis Hakim : 90 orang
b. Tenaga Teknis Panitera : 55 orang
c. Tenaga Non Teknis Militer : 106 orang
d. Tenaga Non Teknis PNS : 241 orang
Jumlah seluruhnya 492 orang atau 65,25 % dari DSP.
Sedangkan untuk kebutuhan Hakim Militer Tinggi di upayakan mudah-mudahan tahun 2009 dapat terpenuhi minimal 9 orang Hakim Tinggi, agar setiap Dilmilti tersedia satu majelis, sedangkan yang tersedia saat ini baru 5 orang dan 2 orang dalam proses pengusulan. Demikian pula untuk kebutuhan Hakim Militer Utama sampai sekarang ini hanya tinggal 1 orang dan untuk kebutuhan satu majelis masih dalam proses pengesahan.
Selain dari kekurangan tenaga Hakim, juga sangat dirasakan kekurangan tenaga Panitera, terutama Panitera untuk Pengadilan Militer Tinggi termasuk kepala Paniteranya yang sudah sekian lama tidak terisi.
Untuk mengatasi kekurangan personel tenaga teknis ini, Ditjen Badilmiltun terus menerus mengkoordinasikannya dengan Spers Mabes TNI maupun dengan Babinkum dan Ditkum Angkatan.
Permasalahan lain dalam bidang administrasi antara lain tentang pemakaian tanda jabatan Hakim dan Panitera serta pemakaian lencana IKAHI, kemudian juga masalah pakaian pada hari jumat, dimana permasalahan-permasalahan tersebut tengah dikoordinasikan dengan Mabes TNI.
F. Administrasi Perkara
1. Sebelum Satu Atap.
Keadaan sisa perkara pada Dilmil/Dilmilti/Dilmiltama sebelum satu atap dengan Mahkamah Agung RI sebagai berikut.
1.1. Pengadilan Militer
Sisa akhir tahun 2004 : 621 perkara
1.2. Pengadilan Militer Tinggi
Sisa akhir tahun 2004 : 70 perkara
1.3. Pengadilan Militer Utama
Sisa akhir tahun 2004 : 2 perkara
Total sisa perkara pada :
a. Pengadilan Militer Utama : 2 perkara
b. pengadilan Militer Tinggi : 70 perkara
c. Pengadila Militer : 621 perkara
Jumlah : 693 perkara
2. Sesudah Satu Atap.
Keadaan perkara pada Dilmil/Dilmilti/Dilmitama sesudah satu atap dengan Mahkamah Agung RI mulai dari tahun 2005 sampai dengan Mei tahun 2008 :
2.1. Keadaa Perkara Tahun 2005
2.1.1 Pengadilan Militer
Sisa akhir tahun 2004 : 621 perkara
Perkara masuk 2005 : 2.547 perkara
Perkara yang diselesaikan 2005 : 2.116 perkara
Sisa per 31 Desember 2005 : 1.052 perkara
2.1.2. Pengadilan Militer Tinggi
Sisa akhir tahun 2004 : 70 perkara
Perkara masuk 2005 : 260 perkara
Perkara yang diselesaikan 2005 : 176 perkara
Sisa per 31 Desember 2005 : 154 perkara
2.1.3. Pengadilan Militer Utama
Sisa akhir tahun 2004 : 2 perkara
Perkara masuk 2005 : 8 perkara
Perkara yang diselesaikan 2005 : 8 perkara
Sisa per 31 Desember 2005 : 2 perkara
2.1.4. Total sisa perkara pada 2005
Sisa akhir tahun 2004 : 621 perkara
Perkara masuk 2005 : 2.547 perkara
Perkara yang diselesaikan 2005 : 2.116 perkara
Sisa per 31 Desember 2005 : 1.052 perkara
3. Keadaan Perkara Tahun 2006
3.1. Pengadilan Militer
Sisa akhir tahun 2005 : 1.052 perkara
Perkara masuk 2006 : 2.408 perkara
Perkara yang diselesaikan : 2.819 perkara
Sisa per 31 Desember 2006 : 641 perkara
3.2. Pengadilan Militer Tinggi
Sisa akhir tahun 2005 : 154 perkara
Perkara masuk 2006 : 281 perkara
Perkara yang diselesaikan : 263 perkara
Sisa per 31 Desember 2006 : 172 perkara
3.3. Pengadilan Militer Utama
Sisa akhir tahun 2005 : 2 perkara
Perkara masuk 2006 : 6 perkara
Perkara yang diselesaikan : 3 perkara
Sisa per 31 Desember 2006 : 5 perkara
Total sisa perkara pada :
a. Pengadilan Militer Utama : 5 perkara
b. pengadilan Militer Tinggi : 172 perkara
c. Pengadila Militer : 641 perkara
Jumlah : 818 perkara
4. Keadaan Perkara Tahun 2007
4.1. Pengadilan Militer
Sisa akhir tahun 2006 : 641 perkara
Perkara masuk : 3.207 perkara
Perkara yang diselesaikan : 2.487 perkara
Sisa per 31 Desember 2007 : 720 perkara
4.2. Pengadilan Militer Tinggi
Sisa akhir tahun 2006 : 172 perkara
Perkara masuk : 233 perkara
Perkara yang diselesaikan : 267 perkara
Sisa per 31 Desember 2007 : 138 perkara
4.3. Pengadilan Militer Utama
Sisa akhir tahun 2006 : 5 perkara
Perkara masuk : 17 perkara
Perkara yang diselesaikan : 20 perkara
Sisa per 31 Desember 2007 : 2 perkara
Total sisa perkara pada :
a. Pengadilan Militer Utama : 2 perkara
b. pengadilan Militer Tinggi : 138 perkara
c. Pengadila Militer : 720 perkara
Jumlah : 860 perkara
5. Keadaan Perkara Tahun 2008
5.1. Pengadilan Militer
Sisa akhir tahun 2007 : 720 perkara
Perkara masuk 2008 : 1.135 perkara
Perkara yang diselesaikan : 1.034 perkara
Sisa per 31 Mei 2008 : 821 perkara
5.2. Pengadilan Militer Tinggi
Sisa akhir tahun 2007 : 138 perkara
Perkara masuk 2008 : 127 perkara
Perkara yang diselesaikan : 113 perkara
Sisa per 31 Mei 2008 : 152 perkara
5.3. Pengadilan Militer Utama
Sisa akhir tahun 2007 : 2 perkara
Perkara masuk 2008 : 11 perkara
Perkara yang diselesaikan : Nihil perkara
Sisa per 31 Mei 2008 : 13 perkara
Total sisa perkara pada :
a. Pengadilan Militer Utama : 13 perkara
b. pengadilan Militer Tinggi : 152 perkara
c. Pengadila Militer : 821 perkara
Jumlah : 986 perkara
G. Administrasi Perkara di Mahkamah Agung Sebelum Peradilan Satu Atap :
1. Keadaan perkara tahun 2003
Kasasi
Sisa Awal : 27 perkara
Perkara masuk : 49 perkara
Perkara putus : 56 perkara
Sisa akhir : 20 perkara
Peninjauan Kembali
Sisa Awal : 1 perkara
Perkara masuk : 8 perkara
Perkara putus : 4 perkara
Sisa akhir : 5 perkara
Grasi
Sisa Awal : 13 perkara
Perkara masuk : 11 perkara
Perkara putus : 24 perkara
Sisa akhir : 0 perkara
2. Keadaan Perkara tahun 2004
Kasasi
Sisa Awal : 20 perkara
Perkara masuk : 108 perkara
Perkara putus : 83 perkara
Sisa akhir : 45 perkara
Peninjauan Kembali
Sisa Awal : 5 perkara
Perkara masuk : 0 perkara
Perkara putus : 4 perkara
Sisa akhir : 1 perkara
Grasi
Sisa Awal : 0 perkara
Perkara masuk : 5 perkara
Perkara putus : 4 perkara
Sisa akhir : 1 perkara
H. Administrasi Perkara di Mahkamah Agung Sesudah Peradilan Satu Atap :
1. Keadaan perkara tahun 2005
Kasasi
Sisa Awal : 45 perkara
Perkara masuk : 112 perkara
Perkara putus : 149 perkara
Sisa akhir : 8 perkara
Peninjauan Kembali
Sisa Awal : 1 perkara
Perkara masuk : 3 perkara
Perkara putus : 2 perkara
Sisa akhir : 2 perkara
Grasi
Sisa Awal : 1 perkara
Perkara masuk : 3 perkara
Perkara putus : 4 perkara
Sisa akhir : 0 perkara
2. Keadaan Perkara tahun 2006
Kasasi
Sisa Awal : 8 perkara
Perkara masuk : 104 perkara
Perkara putus : 74 perkara
Sisa akhir : 38 perkara
Peninjauan Kembali
Sisa Awal : 2 perkara
Perkara masuk : 13 perkara
Perkara putus : 6 perkara
Sisa akhir : 9 perkara
Grasi
Sisa Awal : 0 perkara
Perkara masuk : 4 perkara
Perkara putus : 4 perkara
Sisa akhir : 0 perkara
3. Keadaan Perkara tahun 2007
Kasasi
Sisa Awal : 38 perkara
Perkara masuk : 122 perkara
Perkara putus : 107 perkara
Sisa akhir : 53 perkara
Peninjauan Kembali
Sisa Awal : 9 perkara
Perkara masuk : 5 perkara
Perkara putus : 9 perkara
Sisa akhir : 5 perkara
Grasi
Sisa Awal : 0 perkara
Perkara masuk : 3 perkara
Perkara putus : 0 perkara
Sisa akhir : 3 perkara
4. Keadaan Perkara tahun 2008
Kasasi
Sisa Awal : 53 perkara
Perkara masuk : 54 perkara
Perkara putus : 63 perkara
Sisa akhir : 44 perkara
Peninjauan Kembali
Sisa Awal : 5 perkara
Perkara masuk : 3 perkara
Perkara putus : 0 perkara
Sisa akhir : 8 perkara
Grasi
Sisa Awal : 3 perkara
Perkara masuk : 1 perkara
Perkara putus : 0 perkara
Sisa akhir : 4 perkara
I. Sarana Dan Prasarana
1. Sebelum Satu Atap.
Tanah dan bangunan gedung kantor serta Barang Inventaris sebelum berada dibawah Mahkamah Agung, hampir semua pengadilan militer menempati gedung bersama-sama dengan Oditerat Militer dalam satu komplek, tanah dan gedung-gedung kantor tersebut sebagain besar merupakan asset dan Inventaris Mabes TNI cq. Babinkum TNI dan sebagian merupakan pinjaman dari Kodam setempat. Demikian halnya dengan kendaraan dinas dan barang inventaris lainnya, sebagaimana daftar terlampir.
2. Setelah Satu Atap.
Setelah pengadilan militer dialihkan ke Mahkamah Agung, sesuai dengan ketentuan dalam pasal 4 Keppres Nomor 56 Tahun 2004, semua asset dan inventaris yang digunakan oleh pengadilan militer tidak termasuk dialihkan ke Mahkamah Agung melainkan tetap sebagai aset dan inventaris Mabes TNI, tetapi untuk sementara masih tetap dapat oleh Pengadilan Militer selama Mahkamah Agung belum dapat menyediakan yang baru.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dibuatlah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Panglima TNI Nomor : KMA/065A/SKB/IX/2004 dan Nomor : Skep/421/IX/2004 tanggal 1 September 2004 tentang Penggunaan dan Perawatan Aset dan Barang Inventaris Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Militer dan telah diperpanjang dengan Surat Keputusan Bersama Nomor : KMA/004/ SKB/I/ 2007 dan Nomor : Skep/13/I/2007 tanggal 8 Januari 2007.
Selanjutnya mulai tahun 2006, Mahkamah Agung secara bertahap melaksanakan pengadaan/pembelian tanah bagi semua Pengadilan Militer di seluruh Indonesia sebagaimana daftar terlampir .
Adapun pembangunan Gedung kantornya mulai dilaksanakan juga secara bertahap mulai tahun 2007, yaitu : Gedung Kantor Dilmitama, Dilmilti II dan Dilmil II-08 Jakarta, Dalam tahun 2008 mulai akan dibangun adalah Gedung Kantor Dilmil I-05 Pontianak, Dilmil II-09 Bandung, dan Dilmil II-11 Yogyakarta.. Sedangkan untuk Dilmil I-01 Banda Aceh telah selesai dibangun karena mendapat Hibah dari BRR Nangro Aceh Darussalam.
Demikian halnya dengan inventaris kendaraan dinas, Mahkamah Agung telah melaksanakan pengadaan kendaraan dinas, yang tahap pertama ini baru diperuntukan bagi para Kepala Pengadilan sebagaimana daftar terlampir, sedangkan kendaraan dinas lama sebagian besar telah dikembalikan ke Babinkum TNI.
Selain itu, masing-masing Pengadilan Militer juga telah mengadakan pembelian mesin kantor berupa komputer.
BAB IV
FINANSIAL
J. Sebelum Satu Atap
Pada waktu masih di Mabes TNI, Pengadilan-Pengadilan Militer mendapat dukungan Anggaran yang pengaturannya diselenggarakan oleh Babinkum TNI (selaku Satker Badan Pelaksana Pusat Mabes TNI) dalam bentuk Perintah Pelaksanaan Program (P3) baik untuk Belanja Rutin Kantor maupun untuk Belanja Fungsi. Besaran dukungan dana Rutin Kantor didasarkan kepada jumlah personel masing-masing satker, sedangkan untuk Belanja Fungsi didasarkan kepada prestasi penyelesaian perkara, dan sebagai Kuasa Pengguna Anggarannya adalah masing-masing Kepala Pengadilan Militer. Adapun dana untuk pengadaan barang dan lain-lainnya termasuk gaji personil, semua terpusat di Babinkum TNI.
K. Setelah Satu Atap.
Dukungan Anggaran untuk Pengadilan-Pengadilan Militer setelah satu atap di Mahkamah Agung pada awal masa transisi sebelum adanya Ditjen Badilmiltun, diselenggarakan melalui Direktorat Pidana Militer, tetapi kemudian sejak tahun 2006 masing-masing Pengadilan Militer ditunjuk sebagai Satuan Kerja sendiri, yang dalam pengelolaan anggaran dikoordinir oleh Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung.
Dalam pelaksanaan pengelolaan anggaran di masing-masing Satker Pengadilan, Kepala Pengadilan Militer tidak menangani langsung soal anggaran/keuangan tetapi harus mendelegasikan kepada Kuasa Pengguna Anggaran yang sementara ini untuk dilingkungan Pengadilan Militer adalah Katera.
Mengenai pelayanan gaji pegawai, untuk PNS sepenuhnya dilayani di Mahkamah Agung, sedangkan untuk personel militernya hanya tunjangan jabatan dan tunjangan renumerasi yang diberikan dari Mahkamah Agung, sedangkan pembayaran gaji masih tetap berada di Mabes TNI sebagaimana ditentukan dalam pasal 9 Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Panglima TNI Nomor : KMA/065 A/SKB/IX/2004 dan Nomor : Skep/420/IX/2004, tentang Penggunaan dan Perawatan Aset dan Barang Inventaris Mabes Tentara Nasional Indonesia oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Militer.
BAB V
PENUTUP
Demikian perkembangan pengadilan militer .
Jakarta, Juli 2008
Dirjen Badilmiltun
Sonson Basar, SH
A. PEMBUKAAN
Bahwa keadilan merupakan kebutuhan pokok rohaniah setiap orang dan merupakan perekat hubungan sosial dalam bernegara. Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta dalam proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas Negara. Hakim sebagai figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian pemasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Putusan Pengadilan yang diucapkan dengan irah – irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan keadilan yang dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia dan vertical kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sikap Hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari dan tirta merupakan cerminan perilaku Hakim yang harus senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana, berwibawa, berbudi luhur dan jujur. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsip – prinsip pedoman Hakim dalam bertingkah laku, bermakna pengalaman tingkah laku sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan tersebut akan mendorong Hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai tuntunan agama masing-masing. Seiring dengan keluhuran tugas dan luasnya kewenangan dalam menegakkan hukum dan keadilan, sering muncul tantangan dan godaan bagi para Hakim. Untuk itu, Pedoman Perilaku Hakim merupakan konsekuensi dari kewenangan yang melekat pada jabatan sebagai Hakim yang berbeda dengan warga masyarakat biasa.
Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi Hakim, Baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma – norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat. Namun demikian, untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi Hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan, termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi di atas belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat.
Atas dasar kesadaran dan tanggung jawab tersebut, maka susunlah Pedoman Perilaku hakim ini dengan memperhatikan masukan dari Hakim di berbagai tingkatan dan lingkungan peradilan, kalangan praktisi hukum, akademisi hukum,serta pihak-pihak lain dalam masyarakat. Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali dicetuskan dalam Kongres IV Luar Biasa IKAHI tahun 1966 di Semarang, dalam bentuk Kode Etik Hakim Indonesia dan disempurnakan kembali dalam Munas XIII IKAHI tahun 2000 di Bandung. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI tahun 2002 di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim. Proses penyusunan pedoman ini didahului pula dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan serupa yang ditetapkan di berbagai Negara, antara lain Bangalore Principles. Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan penjabaran dari ke 10 (sepuluh) prinsip pedoman yang meliputi kewajiban-kewajiban untuk : berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegrasi tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional
B. PENGERTIAN – PENGERTIAN
1 “Hakim” adalah seluruh Hakim termasuk Hakim ad hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan semua tingkatan peradilan.
2 “Pegawai Pengadilan” adalah seluruh pegawai yang bekerja di badan-badan peradilan.
3 “Pihak Berwenang” adalah pemangku jabatan atau tugas yang bertanggung jawab melakukan proses dan penindakan atas pelanggaran
4 “Penuntut” adalah Penuntut Umum dan Oditur Militer.
C. PENGATURAN
1. Berperilaku Adil.
Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan member kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.
Penerapan :
1.1. Umum
1.1.1. Hakim tidak boleh memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk Penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi Hakim tersebut (fairness).
1.1.2. Dalam melaksanakan tugas peradilan, Hakim tidak boleh, baik dengan perkataan, sikap, atau tindakan menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, membeda-bedakan atas dasar perbedaan ras, jenis kelamin, agama, kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau orang-orang yang sedang berhubungan dengan pengadilan.
1.1.3. Hakim harus mendorong Pegawai Pengadilan, Advokat dan Penuntut serta pihak lainnya yang tunduk pada arahan dan pengawasan Hakim untuk menerapkan standar perilaku yang sama dengan Hakim sebagaimana disebutkan dalam butir 1.1.2.
1.1.4. Hakim tidak boleh mengeluarkan perkataan, bersikap atau melakukan tindakan, yang dapat menimbulkan kesan yang beralasan dapat diartikan sebagai keberpihakan, tidak atau kurang memberikan kesempatan yang sama, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saki-saksi.
1.1.5. Hakim harus memberi keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad Semata-mata untuk menghukum.
1.2. Mendengar Kedua Belah Pihak.
1.2.1. Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan.
1.2.2. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.
2. Berperilaku Jujur.
Kejujuran pada hakekatnya bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan.
Penerapan :
2.1. Umum
2.1.1. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela.
2.1.2. Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality).
2.2. Pemberian Hadiah
Hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari :
a. Advokat;
b. Penuntut;
c. Orang yang sedang diadili;
d. Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili; atau
e. Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.
Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
2.3. Pencatatan dan Pelaporan Hadiah dan Kekayaan.
2.3.1. Hakim wajib melaporkan secara tertulis pemberian yang termasuk gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
2.3.2 Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan sebelum dan setelah menjabat tanpa ditunda-tunda ,bersedia diperiksa kekayaan segera setelah memangku jabatan dan setelah menjabat, serta wajib melakukan segala upaya untuk memastikan kewajiban tersebut dapat dijalankan secara baik, apabila diperlukan oleh pihakyang berwenang, hakim harus bersedia diperiksa kekayaanya pada saat atau selama memangku jabatan.
3. Berperilaku Arif dan Bijaksana.
Arif dan bijaksana pada hakekatnya bermakna mampu bertindak sesuai dengan normanorma
yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma
keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan
kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya.
Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan
luas, mempuyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.
Penerapan :
3.1. Pemberian Pendapat atau keterangan.
3.1.1 Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi Suatu perkara di luar proses persidangan pengadilan, baik terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain.
3.1.2 Hakim yang diberikan tugas resmi oleh Pengadilan dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur beracara di Pengadilan atau informasi lain yang tidak berhubungan dengan substansi perkara dari suatu perkara.
3.1.3. Hakim dapat memberikan keterangan atau menulis artikel dalam surat kabar atau terbitan berkala dan bentuk-bentuk kontribusi lainya yang dimaksudkan untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai hukum atau administrasi peradilan secara umum yang tidak berhubungan dengan masalah substansi perkara tertentu.
3.1.4. Hakim dalam keadaan apapun tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik, atau pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang belum maupun yang sudah mempuyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun.
3.1.5. Hakim tidak boleh memberikan keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak di maksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan hakim dalam perkara lain.
3.2. Aktivitas Keilmuan, Sosial Kemasyarakatan
3.2.1 Hakim dapat menulis, memberikan kuliah, mengajar dan berpartisipasi dalam kegiatan keilmuan atau suatu upaya pencerahan mengenai hukum,system hukum, administrasi peradilan dan non-hukum, selama kegiatan kegiatan tersebut tidak dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi hakim dalam membahas suatu perkara.
3.2.2 Hakim boleh menjabat sebagai pengurus atau anggota organisasi nirlaba yang bertujuan untuk perbaikan hukum, system hukum, administrasi peradilan lembaga pendidikan dan sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak mempengaruhi sikap kemandirian hakim.
3.2.3 Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota dari partai politik atau secara terbuka menyatakan dukungan terhadap salah satu partai politik atau terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa hakim tersebut mendukung suatu partai politik.
4. Bersikap Mandiri
Mandiri pada hakekatnya bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun.
Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hokum yang berlaku.
Penerapan :
Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun.
5. Berintegritas Tinggi
Integritas tinggi pada hakekatnya bermakna mempuyai kepribadian utuh tidak tergoyahkan, yang terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai- nilai atau norma- norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.
Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.
Penerapan
5.1. Umum
5.1.1. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.
5.1.2. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan.
5.1.3. Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hokum Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat.
5.1.4. Pemimpin Pengadilan diperbolehkan menjalin hubungan yang wajar dengan lembaga eksekutif dan legislatife dan dapat memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat hukum selama hal tersebut tidak berhubungan dengan suatu perkara yang sedang disidangkan atau yang diduga akan diajukan ke Pengadilan.
5.2. Konflik Kepentingan
5.2.1. Hubungan Priadi dan Kekeluargaan.
(1) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, Ketua Majelis, Hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut.
(2) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila Hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat, yang menangani perkara tersebut.
5.2.2. Hubungan Pekerjaan
(1) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih rendah.
(2) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi Hakim.
(3) Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga.
(4) Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan.
(5) Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik apabila Hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik tersebut.
5.2.3. Hubungan Finansial.
(1) Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun bebanbeban keuangan lainnya dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya.
(2) Hakim tidak boleh menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam hubungan financial.
(3) Hakim tidak boleh mengijinkan pihak lain yang akan menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh keuntungan finansial.
5.2.4. Prasangka dan Pengetahuan atas Fakta.
Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila Hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan.
5.3. Tata Cara Pengunduran Diri.
5.3.1. Hakim yang memiliki konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam butir 5.2 wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan utntuk mengundurkan diri harus dibuat seawall mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak.
5.3.2. Apabila muncul keragu-raguan bagi Hakim mengenai kewajiban mengundurkan diri memeriksa dan mengadili suatu perkara lebih baik memilih mengundurkan diri.
6. Bertanggungjawab.
Bertanggung jawab pada hakekatnya bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan semua tugas dan wewenang sebaik mungkin serta bersedia menangung segala akibat atas pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut.
Rasa tanggung jawab akan mendorong terbentuknya pribadi yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, penuh pengabdian, serta tidak menyalahgunakan profesi yang diamankan.
Penerapan :
6.1. Penggunaan redikat Jabatan.
Hakim tidak boleh menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain.
6.2. Penggunaan Informasi Peradilan.
Hakim tidak boleh mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai Hakim, untuk tujua yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.
7. Menjunjung Tinggi Harga Diri.
Harga diri pada hakekatnya bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan
kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi.
Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan
membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa
menjaga kehormatan dan martabatnya sebagai aparatur Peradilan.
Penerapan :
7.1 Umum.
Hakim harus mejaga kewibawaan serta martabat lembaga Peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan.
7.2. Aktifitas Bisnis.
Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan transaksi usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi sebagai Hakim.
7.3. Aktifitas lain.
Hakim dilarang menjadi Advokat, atau Pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara.
7.3.1. Hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang Advokat, kecuali jika :
a. Hakim tersebut menjadi pihak di persidangan; atau
b. Memberikan nasihat hokum Cuma-Cuma untuk anggota keluarga atau teman yang tengah menghadapi masalah hukum.
7.3.2. Hakim dilarang bertindak sebagai arbiter atau mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan yang secara tegas dipertintahkan atau diperbolehkan dalam undang-undang atau peraturan lain.
7.3.3. Hakim dilarang menjabat sebagai eksekutor, administrator atau kuasa pribadi lainnya, kecuali untuk urusan pribadi anggota keluarga Hakim tersebut, dan hanya diperbolehkan jika kegiatan tersebut secara wajar (reasonable) tidak akan mempengaruhi pelaksanaan tugasnya sebagai Hakim.
7.3.4. Hakim dilarang melakukan rangkap jabatan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.4. Aktifitas Masa Pensiun.
Mantan Hakim sangat dianjurkan da sedapat mungkin tidak menjalankan pekerjaan sebagai Advokat yang berpraktekdi Pengadilan terutama di lingkungan peradilan tempat yang bersangkutan pernah menjabat, sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun setelah memasuki masa pensiun atau berhenti sebagai Hakim.
8. Berdisiplin Tinggi
Disiplin pada hakekatnya bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan.
Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.
Penerapan
8.1. Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan.
8.2. Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan.
8.3. Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
8.4. Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk, harus mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki konflik kepentingan.
9. Berperilaku Rendah Hati
Rendah hati pada hakekatnya bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.
Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.
Penerapan:
9.1. Pengabdian.
Hakim harus melaksananakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.
9.2 Popularitas
Hakim tidak boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapapun juga.
10. Bersikap Profesional.
Profesional pada hakekatnya bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.
Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.
Penerapan :
10.1. Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugastugas peradilan secara baik
10.2. Hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administrasi dan bekerja sama dengan para Hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan.
D. PENUTUP
1. Hakim yang mengetahui atau menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa seorang hakim lain telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini harus melakukan upaya yang layak untuk menghindari hal tersebut berulang atau dapat menimbulkan perlakukan yang tidak adil bagi para pihak, termasuk memberikan perlakukan yang tidak adil bagi para pihak, termasuk memberikan perlakukan yang tidak adil bagi para pihak, termasuk memberikan informasi kepada pihak yang berwenang dalam pengawasan Hakim. Membiarkan pelanggaran, adalah bertentangan dengan semangat membela korps Hakim dan lembaga peradilan pada umumnya.
Pelanggaran yang dilakukan oleh individu-individu hakim pada akhirnya akam melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada seluruh Hakim dan lembaga peradilan.
2. Setiap Pimpinan Pengadilan harus berupaya sungguh-sungguh untuk memastikan agar Hakim di dalam lingkungannya mematuhi Pedoman Perilaku Hakim ini.
3. Pelanggaran terhadap Pedoman ini dapat diberikan sanksi. Dalam menentukan sanksi yang layak dijatuhkan, harus dipertimbangkan factor-faktor yang berkaitan dengan pelanggaran, yaitu latar belakang, tingkat keseriusan, dan akibat dari pelanggaran tersebut terhadap lembaga peradilan maupun pihak lain.
Peradilan Militer
Monev_Dilmil_I-04_Palembang_dan_Dilmil_II-10_Semarang
KEGIATAN MONITORING DAN EVALUASI PADA PENGADILAN MILITER I-04 PALEMBANG DAN PENGADILAN MILITER II-10 SEMARANG
Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Layanan Peradilan Di Lingkungan Peradilan Militer Tahun Anggaran 2021dilaksanakan secara bersamaan pada Pengadilan Militer I-04 Palembang dan Pengadilan Militer II-10 Semarang, kegiatan berlangsung selama 3 (tiga) hari pada tangal 21 s.d. 23 April 2021. Pelaksanaan kegiatan dibagi menjadi 2 (dua) Tim, untuk Monev Pengadilan Militer I-04 Palembang dilaksanakan oleh Kolenel Chk Anton M. Tambunan, S.H.., M.H. (Kasubdit Binminmil), Dandy Capriyanto H., S.H., M.M. (Kasubbag TU) dan Arianie Amanda (Kasi Tata Kelola), sedangkan Monev Pengadilan Militer II-10 Semarang dilaksnakan oleh Kolonel Chk (K) Jeli Rita, S.H., M.H. (Kasubdit Binganismil), Letkol Chk Datzun Riyanto, S.H. (Kasi Mutasi Panitera), Jefri Ardianto, S.T. (Kasubbag Perlengkapan), kedatangan tim monitoring dan evaluasi disambut baik oleh Kepala Pengadilan Militer. Sebelum kegiatan monev dimulai terlebih dahulu masing-masing Ketua Tim melaksanakan pembinaan terhadap Personil Pengadilan Militer, selama 3 (tiga) hari pelaksanaan kegiatan monev dapat berjalan dengan baik dan lancar, semoga Peradilan Militer dapat mewujudkan peradilan yang Agung, Transparan dan Bermartabat.
Dokumentasi Pengadilan Militer I-04 Palembang