Demikian disampaikan Kordinator Presedium Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD) Jawa Timur, Aan Ansor. Menurut dia, sistem tersebut digunakan untuk mendeteksi kelompok tertentu yang selama ini sering melakukan kekerasan.Selain itu, Kepolisian harus memberikan proteksi maksimum kepada kelompok-kelompok minoritas yang rentan diserang, baik diminta maupun tidak.
“Termasuk menangkapi seluruh pelaku lapangan, penggerak massa, pemberi dana, hingga aktor intelektual,” ujar Aan, Kamis (17/2/2011).
Lebih jauh Aan mengatakan dalam tragedi Pandeglang, Temanggung, dan Pasuruan, kinerja intelijen masih lemah. Selain itu terlihat aparat penegak hukum kurang bekerja secara optimal. Dalam kasus Pandeglang dan Pasuruan, misalnya polisi sebenarnya sudah membaca akan ada potensi konflik, namun antisipasi di lapangan tidak optimal.
“Polisi, sepertinya tidak punya cukup keberanian untuk melawan premanisme berkedok agama. Oleh karena itu hal ini tidak bisa terus dibiarkan,” tegasnya.
Selain early warning system, lanjut dia, semangat antikekerasan dan pluralisme harus disebarluaskan oleh kelompok Islam mayoritas. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan dua organisasi Islam moderat yang mempunyai peran sangat vital terkait isu ini.Karena posisi penting NU dan Muhammadiyah maka gerakan Islam garis keras selalu mencoba untuk menyelinap dan menunggangi keduanya, terutama dalam isu-isu syariat.
“Tidak jarang keduanya secara sadar maupun tidak, masuk dalam arus besar gagasan radikalisasi itu,” ungkapnya, seraya menambahkan perlu kewaspadaan agar dua ormas Islam terbesar di Indonesia ini tidak tersusupi.